Selasa, 24 September 2013

PELAKSANAAN SL- PHT DI DESA EKANG ANCULAI KECAMATAN TELUK SEBONG KABUPATEN BINTAN





Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP) Kabupaten Bintan, mengadakan kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) untuk para petani  di kabupaten Bintan.  Kegiatan SL-PHT ini dilaksanakan dengan tujuan agar para petani memiliki pengetahuan dalam pengendalian hama terpadu  sehingga dengan berbekal pengetahuan tersebut mereka bisa dan mampu mengendalikan serangan hama  jika sekiranya nanti terjadi serangan hama dan penyakit di lahan pertanian mereka masing-masing.
Untuk acara  pembukaan kegiatan SL-PHT  ini dilakukan di kantor Desa Toapaya Utara , Kecamatan Toapaya, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Kemudian untuk kegiatan selanjutnya dilaksanakan di lapangan  di lahan milik petani yaitu di Kecamatan Toapaya, Kecamatan Teluk Sebong dan Kecamatan Bintan Timur.
Kegiatan SL-PHT ini dilaksanakan pada tanggal 11 April – 6 Juni 2013 , dimana untuk kegiatan lapangan dilaksanakan selama 8 kali pertemuan.  Kegiatan SL-PHT ini di buka oleh Bapak Ir. Jhon Kenedi, Kepala Bidang Kelembagaan dan Pengembangan SDM pada BPPKP Kabupaten Bintan dan juga dihadiri oleh Bapak Wagino, Kepala Seksi Perlindungan Tanaman pada Dinas Pertanian  dan Kehutanan Kabupaten Bintan , dan juga dihadiri oleh para Penyuluh Pertanian Lapangan di lingkungan BPPKP Kabupaten Bintan. Sementara itu para pesertanya berjumlah 75  orang  berasal dari petani – petani yang ada di Kabupaten bintan .
Tujuan Pelaksanaan  SL-PHT adalah pendekatan dalam pengelolaan lahan, air, tanaman, organisme pengganggu tanaman (OPT), dan iklim secara terpadu dan berkelanjutan dalam upaya peningkatan produktivitas, pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan. Prinsipnya , a. SL-PHT mencakup empat unsur, yaitu integrasi, interaksi, dinamis dan partisipatif. b. SL-PHT mengintegrasikan sumber daya lahan, air, tanaman, OPT, dan Iklim untuk mampu meningkatkan produktivitas lahan dan tanaman sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar- besarnya bagi petani.
Komponen teknologi dasar adalah komponen teknologi yang relative dapat berlaku umum di wilayah yang luas, antara lain, a. Varietas modern Varietas Unggul baru(VUB), Varietas Unggul hibrida (VUH), dan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) b. Bibit bermutu dan sehat (perlakuan benih) c. Pemupukan efisien menggunakan Bagan Warna Daun (BWD), d. Perangkat Uji Tanah Kering (PUTK) tentang pemupukan spesifik lokasi. e. PHT sesuai OPT sasaran .
Agar komponen teknologi yang dipilih sesuai dengan kebutuhan setempat, maka proses pemilihannya  didasarkan pada hasil analisis potensi, kendala, dan peluang atau dikenal dengan PRA (Participatory Rural Apraisal) Dari PRA teridentifikasi masalah yang dihadapi dalam upaya peningkatan produksi, baik dari komponen teknologi dasar maupun pilihan. Komponen teknologi pilihan dapat menjadi komponen teknologi dasar jika hasil PRA memprioritaskan penerapan teknologi tersebut untuk pemecahan masalah utama di wilayah setempat.
Definisi SL-PHT adalah bentuk sekolah yang seluruh proses belajar – mengajarnya dilakukan di lapangan . Hamparan kebun milik petani peserta program penerapan SL  disebut hamparan SL-PHT, sedangkan hamparan kebun tempat praktek SL disebut Laboratorium Lapang (LL). Sekolah Lapang seolah – olah menjadikan petani peserta sebagai murid dan Pemandu Lapang (PL I atau PL II) sebagai guru.
Namun pada Sekolah Lapang tidak dibedakan antara guru dan murid, karena aspek   kekeluargaan lebih diutamakan, sehingga antara guru dan murid saling memberi pengetahuan. SL-PHT juga mempunyai kurikulum, evaluasi Pra dan Pasca kegiatan, dan sertifikat. Bahkan sebelum  SL-PHT dimulai perlu dilakukan registrasi terhadap peserta yang mencakup nama dan luas lahan kebun garapan, pembukuan , dan studi banding atau kunjungan lapangan (field trip) . Tujuan Utama SL-PHT adalah mempercepat alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau nara sumber lainnya. Narasumber memberikan ilmu dan teknologi (IPTEK) yang telah dikembangkan kepada pemandu lapang. Melalui SL-PHT diharapkan terjadi percepatan ,penyebaran teknologi dari  peneliti ke petani peserta dan kemudian berlangsung difusi (penyebaran)  secara alamiah dari alumni SL-PHT kepada petani di sekitarnya.
Oleh karena itu petani peserta SL-PHT akan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk menerapkan teknologi di lapangan dan hanya sebagian kecil waktu yang digunakan di kelas untuk membahas aspek yang terkait dengan usaha tani, seperti koperasi, gapoktan, kelompok tani dan pemasaran hasil. Sesuai dengan motto petani SL-PHT ”Mendengar, Saya lupa; melihat, saya ingat; melakukan, saya paham; menemukan sendiri, saya kuasai” maka setiap kegiatan yang di lakukan sendiri akan memberikan pengalaman yang berharga. Oleh karena itu, petani dituntut untuk mampu menganalisis kegiatan yang telah dilakukan, kemudian menyimpulkan dan menindak lanjutinya. kesimpulan yang telah dibuat merupakan dasar dalam melakukan perubahan dan atau pengembangan teknologi.
Pengkajian agroekosistem kebun SL-PHT dicirikan dengan adanya pertemuan petani peserta dalam periode tertentu, mingguan atau dua mingguan, bergantung kepada pengalaman mereka setelah mengamati perubahan ekosisitem pekebunan. Aktivitas minggun berupa monitoring yang hasilnya diperlukan dalam pengambilan keputusan. Untuk itu petani peserta SL-PHT perlu didorong untuk membiasakan diri menganalisis ekosisten dan mengkaji produktifitas dan efektivitas teknologi yang dicoba pada petak laboratorium lapang dan menerapkannya di lahan sendiri . Metode belajar praktis Aktifitas SL-PHT perlu dirancang sedemikian rupa agar petani mudah memahami masalah yang dihadapi dilapangan dan menetapkan teknologi yang akan diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut. Misalnya , bagai mana petani mengetahui kondisi tanaman yang kurang pupuk, hubungan antara iklim dan keberadaan OPT, atau bagai mana mereka dapat mengetahui kesuburan tanah. Dalam memberikan panduan dan motivasi kepada petani, pemandu SL-PHT harus mampu berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa yang mudah dipahami petani.
 Kurikulum dirancang atas dasar analisis keterampilan yang perlu dimiliki petani SL-PHT agar mereka dapat memahami dan menerapkan SL-PHT di lahan sendiri dan mengembangkannya kepada petani lainnya. Selain keterampilan teknis, petani peserta SL-PHT juga memperoleh kecakapan dalam perencanaan kegiatan, kerja sama, dinamika kelompok, pengembangan materi belajar, dan komunikasi. Hal ini penting artinya mampu memotivasi dan membantu kelompok tani. Prinsip Pendidikan dalam SL-PHT Agar tujuan dapat tercapai sesuai dengan keinginan, SL-PHT hendaknya dilaksanakan berdasarkan pengalaman sendiri. Untuk itu materi pendidikan yang akan diberikan dalam SL-PHT mencakup Aspek yang diperlukan oleh kelompok tani di wilayah pengembangan SL-PHT. (Oleh : Syahrinaldi, Penyuluh Pertanian Pada BPPKP Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau)

Kamis, 25 Juli 2013

SOSIALISASI GERAKAN PERCEPATAN PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU




Badan Ketahanan Pangan Provinsi Kepulauan Riau mengadakan kegiatan sosialisasi Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP)  melalui  konsep Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL).
 Model Kawasan Rumah Pangan Lestari  adalah membangun sebuah kawasan pemukiman dimana masyarakatnya bisa tercukupi kebutuhan pangan mereka melalui pemanfaatan lahan pekarangan . Setidaknya ada 2 keuntungan yang diperoleh dari pelaksanaan M-KRPL ini yaitu (1). Ibu-ibu anggota kelompok wanita bisa memenuhi kebutuhan dapur mereka (bumbu masak) melalui tanaman yang mereka tanam sendiri sehingga mereka tak perlu lagi membeli dan ini merupakan suatu bentuk penghematan, (2). Jika pemanfaatan lahan pekarangan ini dilaksanakan secara intensif dan memberikan hasil yang banyak yang melebihi kebutuhan keluarga maka hasil yang berlebih ini bisa dijual dan itu bisa menambah pendapatan keluarga.
Kegiatan sosialisasi Gerakan  P2KP melalui konsep M-KRPL ini dilaksanakan di Hotel Plaza, Tanjungpinang. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 3 – 5 April 2013. Sementara itu para peserta yang hadir dalam kegiatan sosialisasi Gerakan P2KP melalui konsep M-KRPL ini adalah para penyuluh pendamping kelompok wanita yang berasal dari kabupaten / kota yang ada di Provinsi Kepulauan Riau, dimana jumlah pesertanya adalah 28 orang. Kemudian yang menjadi narasumbernya berasal dari Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan , Kementerian Pertanian RI.
Kegiatan sosialisasi ini dilakukan dalam bentuk ceramah dan diskusi, kemudian materi yang disampaikan dalam kegiatan tersebut adalah tentang konsep dan penerapan M-KRPL. Gerakan nasional Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) telah dilaunching Presiden tanggal 13 Januari 2012 di Pacitan Jawa Timur untuk di replikasikan di tiap provinsi. Kementerian Pertanian menyusun suatu konsep yang disebut “Model Kawasan Rumah Pangan Lestari” (M-KRPL) dengan prinsip pemanfaatan pekarangan yang ramah lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga. Ketiga program tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk meningkatkan kebutuhan pangan dan gizi keluarga dan meningkatkan pola pangan harapan (PPH). Kegiatan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) terdapat komponen Diversifikasi Pangan untuk penganekaragaman konsumsi pangan dari bahan baku pangan lokal non beras untuk peningkatan gizi keluarga.
Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP), Gerakan Perempuan Untuk Optimalisasi Pekarangan (GPOP) dan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) punya tujuan sama yaitu menggerakan perempuan dan optimalisasi pekarangan.
Pemberdayaan pekarangan untuk menyediakan kebutuhan pangan dan gizi keluarga untuk di tanami cabai keriting, cabai rawit, aneka sayuran, tanaman obat dan tanaman hias, selebihnya dapat di jual untuk pendapatan keluarga. Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) dalam pelaksanaannya perlu didukung oleh instansi terkait, perangkat desa dan elemen masyarakat.

    Masalah adalah kurangnya fasilitasi kebijakan pemerintah dan dukungan anggaran yang dapat mendorong dan memberikan insentif bagi masyarakat dalam pemberdayaan lahan pekarangan dalam diversifikasi konsumsi pangan. Selain itu, masih dirasakan kurangnya fasilitasi pemberdayaan ekonomi dan pengetahuan untuk meningkatkan aksesibilitas pada pangan beragam dan bergizi seimbang. Dengan kondisi tersebut diperlukan komitmen pemerintah untuk melibatkan dan mendukung rumah tangga dalam mewujudkan kemandirian pangan dalam menggerakkan lagi budaya menanam di lahan pekarangan, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Kelembagaan yang berpotensi untuk dikembangkan mendukung M-KRPL antara lain kelembagaan kelompok tani dan kelompok PKK dengan melibatkan kelembagaan permodalan dan pemasaran. Proses pengembangan dan penguatan kelembagaan dan penerapan teknologi pangan melalui gerakan perempuan dan optimalisasi pemanfaatan pekarangan.
Rancang Bangun Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL), perlu diwujudkan dalam satu dusun yang telah menerapkan prinsip RPL dengan pemanfaatan pagar hidup, jalan desa, dan fasilitas umum (sekolah, rumah ibadah, dll), serta mengembangkan pengolahan dan pemasaran hasil. Rumah Pangan Lestari terdapat empat substansi yang mendukung satu sama lain saling melengkapi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan gizi keluarga.
Adapun substansi dari Model Kawasan Rumah Pangan Lestari adalah sebagai berikut:
1. Kemandirian pangan rumah tangga
Adalah kemampuan kepala rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan konsumsi protein nabati dan hewani sehari-hari untuk keluarganya. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk di tanami aneka tanaman sayuran yang biasa dikonsumsi. Aneka sayuran yang di tanam dalam bentuk pot/ polibag meliputi tanaman sawi, bayam, cabe, caisin, kangkung, seledri, Tomat, Terong, Bawang Daun dan sejenisnya. Protein hewani hasil pemanfaatan lahan pekarangan seperti ayam, telor ayam, ikan, kelinci.
Rumah Tangga Petani dapat dikelompokan menjadi 3 Klaster yaitu:
  1. Rumah Tangga dengan luas pekarangan sempit < 120 m2,
  2. Rumah Tangga dengan luas pekarangan sedang (120 m2 – 400 m2)
  3. Rumah Tangga luas pekarangan > 400 m2 untuk usaha sayuran, ikan dan ternak.
2. Diversifikasi pangan lokal
Dalam upaya penenganekaragaman konsumsi pangan non beras perlu inovasi teknologi budidaya dan proses pengolahan pasca panen. Selain teknologi tersebut introduksi komoditas unggulan daerah dan kearifan lokal yang sudah adaptif merupakan alternatif yang dapat dikembangkan. 
3. Kebun Bibit Desa (KBD)
Untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan usaha pemanfaatan pekarangan, maka ketersediaan bibit menjadi faktor yang menentukan keberhasilan. Oleh karena itu perlu dibangun Kebun Bibit Desa (KBD) untuk mempermudah akses bibit/ benih dan dikelola secara baik di setiap Kawasan Rumah Pangan agar Lestari.
Keberlanjutan pengembangan rumah pangan lestari dapat diwujudkan melalui pengaturan pola dan rotasi tanaman termasuk sistem integrasi tanaman-ternak dan model diversifikasi yang tepat sehingga dapat memenuhi pola pangan harapan dan memberikan kontribusi pendapatan keluarga.
4. Konservasi tanaman
Konservasi tanaman lokal sebagai sumberdaya genetik yang ditujukan untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya genetik lokal yang ada di wilayah masing-masing mencegah laju kepunahan. Banyak tanaman umbi-umbian lokal yang juga banyak di budidayakan masyarakat hasilnya untuk di konsumsi dan selebihnya untuk dijual. Permintaan pasar cukup baik terbukti dari harga komoditas umbi-umbian relatif cukup tinggi.
Berdasarkan fenomena tersebut diatas, kegiatan M-KRPL perlu di replikasikan tiap Kabupaten/ Kota  dalam menggerakan perempuan untuk optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan di dukung oleh instansi terkait dan elemen masyarakat. (Oleh : Syahrinaldi, Penyuluh Pertanian pada BPPKP Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Sumber : kalbar.libang.deptan.go.id)

Selasa, 04 Juni 2013

PELATIHAN MITIGASI DAN ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM





Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian, Kementerian Pertanian RI mengadakan kegiatan Pelatihan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Penyuluh Pertanian.
Kegiatan ini dilaksanakan terkait dengan adanya fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi yang sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian . Sehingga dengan adanya kegiatan ini diharapkan para Penyuluh Pertanian Lapangan bisa memahami informasi tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sehingga pada tahap berikutnya informasi tersebut bisa diteruskan kepada para petani yang ada di lapangan . Dengan demikian diharapkan para petani ini memiliki kesiapan dalam menghadapi perubahan iklim.
Kegiatan pelatihan ini dilakukan di Pusat Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan Pertanian (PPMKP) Ciawi, Bogor. Kegiatan Pelatihan Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Bagi Penyuluh Pertanian ini dilaksanakan pada tanggal 28 Januari – 3 Februari  2013.
Sementara itu untuk pesertanya berjumlah 30 orang yang merupakan  para Penyuluh Pertanian Lapangan yang berasal dari 30 kabupaten/kota  yang tersebar di wilayah Sumatera, Jawa dan Kalimantan.
Kegiatan pelatihan ini dilaksanakan dalam bentuk ceramah, diskkusi dan praktek lapangan. Untuk kegiatan praktek lapangan dilaksanakan di Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tanaman (BBPOPT) di Karawang dan juga di Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) di Subang , Jawa Barat.  
Pemanasan global menyebabkan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (El-Nino dan La-Nina) dan ketidak teraturan musim, Selama 30 tahun terakhir terjadi peningkatan suhu global secara cepat dan konsisten sebesar 0,2oC per dekade, Sepuluh tahun terpanas terjadi pada tahun 2005, Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas tanaman dan pendapatan petani.
Dampak tersebut bisa secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan OPT, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia. Strategi antisipasi dan teknologi adaptasi terhadap perubahan iklim dan serangan OPT merupakan salah satu aspek yang harus menjadi rencana strategi Kementerian  Pertanian dalam rangka menyikapi perubahan iklim, ancaman OPT setiap tahun terus terjadi, perkembangan hama dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim baik langsung maupun tidak langsung, terjadinya anomali musim, yakni masih adanya hujan di musim kemarau juga dapat menstimulasi serangan OPT.
Pemantauan terhadap dinamika serangan OPT yang dikaitkan dengan perubahan iklim merupakan upaya yang perlu direalisasikan sebagai upaya antisipasi, untuk masa yang akan datang, sistem peringatan dini (early warning system) perlu dibangun, Sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) bagi petani dan kelompok tani merupakan kegiatan peningkatan kapasitas yang masih sangat relevan untuk dilakukan hingga saat ini. SLPHT telah ditingkatkan menjadi sekolah lapang iklim (SLI) bahkan berkembang menjadi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT) .
Pemanasan global menyebabkan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (El-Nino dan La-Nina) dan ketidak teraturan musim. Perubahan iklim global masa yang akan datang, diperkirakan akan menyebabkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim akan meningkat. Iklim bumi sedang berubah secara cepat karena meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebagai akibat aktivitas manusia. Meningkatnya kandungan GRK menimbulkan efek GRK di atmosfir. Efek GRK ini menghambat pelepasan panas dari atmosfir yang menyebabkan suhu bumi meningkat.
Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat rentan terhadap perubahan iklim yang berdampak pada produktivitas tanaman dan pendapatan petani. Dampak tersebut bisa secara langsung maupun tidak langsung melalui serangan OPT.
Organisme penganggu tanaman (OPT) merupakan faktor pembatas produksi tanaman di Indonesia baik tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan. Organisme pengganggu tanaman secara garis besar dibagi menjadi tiga yaitu hama, penyakit dan gulma. Perkembangan hama dan penyakit sangat dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Sehingga tidak jarang kalau pada musim hujan petani banyak disibukkan oleh masalah penyakit tanaman seperti penyakit kresek dan blas pada padi, sedangkan pada musim kemarau banyak masalah hama seperti penggerek batang padi, hama belalang kembara.
Peningkatan kejadian iklim ekstrim yang ditandai dengan fenomena banjir dan kekeringan, perubahan pola curah hujan yang berdampak pada pergeseran musim dan pola tanam, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat yang mampu menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan OPT merupakan beberapa pengaruh perubahan iklim yang berdampak buruk terhadap pertanian di Indonesia.
Untuk mengurangi dampak buruk OPT terhadap produksi dan produktivitas tanaman, diperlukan upaya antisipasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.  Hal ini bertujuan untuk mengembangkan pertanian yang tanggap terhadap variabilitas iklim sekarang dan akan datang. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu disusun program kerja yang sistematis dan terintegrasi untuk melaksanakan agenda adaptasi.
 Pengaruh kejadian iklim ekstrim sering kali menstimulasi ledakan (outbreak) beberapa hama dan penyakit utama tanaman padi, seperti tikus, penggerek batang, wereng coklat dan tungro. Kejadian El-Nino pada tahun 1997 yang diiringi La-Nina tahun 1998 berdampak pada ledakan serangan hama wereng di beberapa provinsi di Indonesia, terutama di Jawa Barat .  Suhu udara dan kelembaban yang meningkat menyebabkan OPT mudah berkembangbiak. Pada kondisi iklim ekstrim La-Nina, peningkatan kelembabam udara sangat signifikan yang menstimulasi ledakan serangan OPT.
Untuk mengurangi dan menanggulangi dampak perubahan iklim terhadap perkembangan dan distribusi OPT serta intensitas serangan OPT terhadap pertanaman, maka diperlukan upaya antisipasi yang tepat. Pemantauan terhadap dinamika serangan OPT yang dikaitkan dengan perubahan iklim merupakan upaya yang perlu direalisasikan sebagai upaya antisipasi. Ploting data kejadian serangan OPT selama 10-20 tahun terakhir dapat dilakukan untuk mempelajari hubungan antara perubahan iklim dengan serangan OPT. Spasialisasi data melalui pemetaan perubahan serangan OPT di wilayah sentra produksi tanaman (pangan) yang rentan pada 10-20 tahun terakhir akan lebih informatif.
Mengingat dinamika iklim ekstrim yang semakin meningkat, model prediksi serangan OPT perlu dibangun berdasarkan skenario perubahan iklim, yaitu pada tahun kering (El-Nino), normal dan tahun basah (La-Nina). Hal ini untuk memberikan peluang antisipasi yang lebih akurat serangan OPT di masa yang akan datang.
Untuk menguji akurasi model prediksi, validasi model prediksi perlu dilakukan dengan cara melakukan survei (ground check) di wilayah-wilayah pewakil yang merepresentasikan wilayah sentra produksi tanaman.
Untuk antisipasi serangan OPT di masa yang akan datang, sistem peringatan dini (early warning system) perlu dibangun. Pembangunan sistem informasi iklim dan serangan OPT menjadi sangat penting. Pengembangan jejaring informasi serangan OPT (pest and diseases forecasting network) perlu dilakukan dan harus menjadi kebijakan yang dikedepankan. Jejaring ini didukung dengan data dan informasi spasial dari citra maupun data dan informasi iklim dari stasiun iklim serta informasi serangan OPT dari Dinas Pertanian Kabupaten/Kota yang telah dikompilasi di tingkat nasional di  Ditjen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian.
Sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) bagi petani dan kelompok tani merupakan kegiatan peningkatan kapasitas yang masih sangat relevan untuk dilakukan hingga saat ini. Untuk lebih memberdayakan petani dan kelompok tani dalam mengatasi permasalahan serangan OPT, SLPHT telah ditingkatkan menjadi sekolah lapang iklim (SLI) bahkan berkembang menjadi Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SLPTT) dan Sekolah Lapang Pertanian.
Penelitian dan pengembangan tentang prediksi iklim serta pemodelannya harus terus dilakukan untuk mendukung peningkatan akurasi prediksi serangan OPT di masa yang akan datang. (Oleh : Syahrinaldi, Penyuluh Pertanian, BPPKP Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Sumber : balitklimat.litbang.deptan.go.id)


Sabtu, 13 April 2013

PENGEMBANGAN USAHA PUPUK KOMPOS DAN BIOGAS UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANI


Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan mengadakan bimbingan teknis Agro Industri Pengolahan Kompos dan Biogas. Kegiatan ini dilakukan karena sekarang ini di Kabupaten Bintan khususnya di Kecamatan Bintan Utara cukup banyak petani yang memelihara ternak sapi. Dari peternakan sapi ini banyak dihasilkan kotoran sapi. Tetapi selama ini kotoran sapi tersebut belum diolah secara baik untuk dijadikan pupuk kompos dan biogas . Pada hal potensinya cukup besar oleh karena itu Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan mengadakan bimbingan teknis Agro Industri Pengolahan Kompos dan Biogas untuk memanfaatkan potensi kotoran sapi tersebut.
Dengan dilakukannya bimbingan teknis ini diharapkan petani mampu menerapkan tata cara pengolahan kompos dan penerapan biogas. Kemudian pupuk kompos yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk memupuk tanaman yang mereka kelola dan sebagian lagi bisa dijual ke petani-petani lain yang memerlukannya. Sementara itu hasil dari biogas bisa dimanfaatkan oleh petani untuk kegiatan memasak di dapur. Sehingga dari kegiatan ini diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan petani.
Kegiatan bimbingan teknis ini dilaksanakan di Desa Lancang Kuning Kecamatan Bintan Utara Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau dan dilakukan pada hari Selasa (02/10/2012)
Acara tersebut dibuka oleh Bapak Ir. Nazarudin, Kepala Bidang Perkebunan mewakili Kepala Dinas Pertanian Kehutanan dan Peternakan Provinsi Kepulauan Riau. Turut hadir dalam acara tersebut Bapak Drs. Adi Prihantara, MM Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bintan, juga hadir Ibu Dahlia Zulfah selaku Camat Bintan Utara. Sementara itu yang menjadi narasumber adalah Bapak Dadi Rosadi, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) pada Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Bintan, drh. Setyo Rahardjo dari Distanhut Kabupaten Bintan, Bapak Padil dari Distanhut Kabupaten Bintan, drh. Azhari dari Distanhut Kabupaten Bintan.
Kemudian para peserta yang mengikuti kegiatan bimbingan teknis Agro Industri Pengolahan Kompos dan Biogas ini berasal dari berbagai anggota kelompok tani yang terdapat di Kabupaten Bintan. Mereka ini berasal dari Kecamatan Bintan Utara, Kecamatan Teluk Bintan, Kecamatan Toapaya, Kecamatan Gunung Kijang. Secara Keseluruhan jumlah peserta yang mengikuti bimbingan teknis ini adalah 30 orang dan kegiatan ini berlangsung selama 1 hari.
Dalam kegiatan bimbingan teknis tersebut narasumber menyampaikan cara pembuatan pupuk kompos,    untuk menghasilkan pupuk kompos diperlukan bahan-bahan seperti,  Kotoran sapi sebanyak 80-83%, Kapur gamping  2%,  Pemacu mikroorganisme (Stardec)  0,25%,  Air secukupnya,  Serbuk gergaji  5%, Abu sekam  10%. Alat-alat yang digunakan, Sekop,  Cangkul, Alat pengangkut dan mengumpulkan kotoran (grobak sorong), tempat pembuatan dan penyimpanan (semacam gudang). Bangunan tempat pembuatan sebaiknya dibuatkan tempat  khusus untuk membuat kompos, terutama bagi kandang kolektif. Lokasinya diusahakan agar tidak jauh dari kandang, untuk memudahkan pengumpulan kotorannya.
Kemudian dalam  proses pembuatan kompos itu  tempatnya terlebih dahulu harus disiapkan.  Diusahakan tempat pembuatan pupuk organik terlindung dari terik matahari langsung atau hujan ( tempat yang beratap). Saat pembuatan kompos diusahakan agar tidak tergenang air ataupun terkena air hujan karena akan menjadi busuk.  Kotoran sapi (feses dan urine) yang bercampur dengan sisa pakan, di kumpulkan pada satu tempat, ditiriskan atau dikering anginkan selama satu minggu agar tidak terlalu basah.  Kotoran sapi yang sudah ditiriskan tersebut kemudian dipindahkan ke lokasi pembuatan dan diberi kalsit/kapur dan dekomposer. Untuk membuat 1 ton bahan pembuatan kompos (kotoran ternak) membutuhkan 20 kg kapur, 50 kg ampas gergaji, 100 kg abu sekam dan 2,5 kg dekomposer (stardec)dan seluruh bahan dicampur lalu diaduk merata.
Setelah satu minggu diperam, campuran tadi diaduk/dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu bisa diukur dengan memasukkan telapak tangan ke dalam tumpukan bahan, bila terasa hangat berarti terjadi proses pemeraman. Minggu kedua dilakukan pembalikan lagi. Demikian seterusnya sampai pada minggu keempat. Pada saat ini pupuk telah matang dengan warna pupuk coklat kehitaman bertekstur remah dan tidak berbau.  Pemeraman dilakukan selama 1 bulan. Kelembaban dan temperatur harus tetap dijaga agar sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk hidup dan berkembang. Kemudian pupuk diayak atau disaring untuk mendapatkan bentuk yang seragam serta memisahkan dari bahan yang tidak diharapkan (misalnya batu, potongan kayu, rafia) sehingga pupuk yang dihasilkan benar-benar berkualitas. Selanjutnya pupuk organik siap diaplikasikan ke lahan sebagai pupuk dasar atau dapat disimpan pada tempat yang terlindung dari terik matahari dan hujan.
Berdasarkan penjelasan dari narasumber dari segi analisa ekonomis kegiatan pengolahan kompos ini menguntungkan petani dan layak untuk dilaksanakan, dari 1 ton kompos yang dihasilkan oleh petani maka petani bisa mendapatkan keuntungan sekitar Rp.300.000. Dengan diperolehnya  keuntungan yang sebesar ini diharapkan para petani termotivasi atau terdorong untuk mengembangkan pupuk kompos sehingga melalui bimbingan teknis ini diharapkan kesejahteraan petani bisa lebih meningkat. (Oleh : Syahrinaldi, Penyuluh Pertanian, BPPKP Kabupaten Bintan)